Jakarta –
Jumlah kasus tuberkulosis (TBC) di kalangan anak-anak di bawah usia 15 tahun mengalami peningkatan di Eropa, dengan catatan kenaikan sebesar 10 persen dibandingkan tahun sebelumnya, 2023. Ini merupakan hal yang mengkhawatirkan, di mana kelompok anak kini berkontribusi sebesar 4,3 persen dari total kasus baru TBC.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kenaikan ini menandai tren peningkatan selama tiga tahun berturut-turut untuk kasus TBC di anak-anak.
“Kenaikan kasus TBC di kalangan anak-anak menandakan bahwa penularan TB masih terjadi di Eropa, sehingga tindakan kesehatan masyarakat harus segera dilakukan untuk mengendalikan dan mengurangi beban TBC yang terus meningkat,”
Seiring dengan terus bertambahnya kasus, lebih dari 650 kasus tambahan di antara anak-anak dilaporkan antara 2022 dan 2023. Sayangnya, 1 dari 5 anak dengan TBC di Eropa belum diketahui status kelanjutan pengobatannya.
Kondisi ini dapat berpotensi memperburuk situasi TBC, termasuk peningkatan kasus TBC yang resisten terhadap obat dan penyebarannya yang meluas.
“Saatnya untuk bertindak membasmi TBC. Dengan hanya lima tahun tersisa untuk mencapai target 2030, penting bagi Eropa untuk meningkatkan perhatian pada pencegahan dan pengobatan yang tepat dan tepat waktu. Mengingat meningkatnya angka TBC yang resisten terhadap obat, biaya dari ketidakcukupan tindakan hari ini akan dirasakan oleh kita semua di masa depan,” ujar Dr. Pamela Rendi-Wagner, Direktur Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC) dan WHO/Eropa.
Di tengah tantangan tersebut, penghentian pendanaan global untuk TBC dari AS juga menimbulkan kekhawatiran. Lembaga bantuan luar negeri USAID selama ini telah memberikan dukungan dalam bentuk pasokan medis serta perawatan, terutama untuk negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah.
AS memiliki peran yang signifikan dalam pengendalian TBC global melalui lembaga USAID, yang kini sedang mengalami pemangkasan dana oleh pemerintahan Trump.
Pada tahun 2024, AS diharapkan dapat menyumbang sekitar USD 406 juta untuk pengendalian TBC, yaitu hampir seperempat dari total pendanaan donor global. AS juga merupakan donor utama bagi Global Fund yang memerangi AIDS, tuberkulosis, dan malaria, dengan kontribusi lebih dari 60 persen dari total dana donor untuk TBC. Namun, saat ini kontribusi AS terhadap Global Fund belum resmi dipotong.
Negara-negara di Asia, khususnya, akan merasakan dampak signifikan dari pengurangan ini. Lima negara dengan jumlah kasus TBC tertinggi menyumbang lebih dari setengah dari total kasus di seluruh dunia, yang semuanya berada di Asia. Negara tersebut adalah India (26 persen dari total kasus global pada 2023), Indonesia (10 persen), China (6,8 persen), Filipina (6,8 persen), dan Pakistan (6,3 persen).
AS mendukung berbagai upaya pengendalian TBC di beberapa negara seperti Kamboja, Indonesia, Myanmar, Filipina, Vietnam, Bangladesh, India, dan Pakistan. Untuk beberapa negara tersebut, kontribusi USAID dan Global Fund melebihi anggaran pengendalian TBC dalam negeri.
Ketergantungan tinggi negara-negara tersebut, bersama negara-negara berpenghasilan rendah lainnya, pada bantuan luar negeri AS menghadapi ancaman terhadap perawatan TBC. Peringatan ini disampaikan oleh Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Sedikitnya sembilan negara melaporkan adanya masalah dalam rantai pasokan obat anti-TB. Akibatnya, dapat menyebabkan peningkatan jumlah kasus baru serta kematian, karena penurunan dalam diagnosis dan terputusnya pasokan obat anti-TB. Selain itu, kemungkinan kasus TBC yang resisten terhadap obat juga bisa meningkat secara signifikan.
(naf/kna)
.