Kepunahan massal, yang menghapus sekitar 80% kehidupan di Bumi sekitar 250 juta tahun lalu, mungkin tidak begitu merusak bagi tumbuhan, berdasarkan penemuan fosil terbaru. Para ilmuwan telah menemukan lokasi di Tiongkok yang tampaknya menjadi tempat perlindungan bagi tumbuhan selama peristiwa kepunahan terbesar dalam sejarah planet ini.
Kepunahan massal akhir Permian, atau Great Dying, terjadi sekitar 251,9 juta tahun yang lalu, ketika superbenua Pangea sedang dalam proses terpecah. Di masa itu, sebagian besar daratan di Bumi masih bersatu, terpisah hanya oleh lautan dangkal.
Letusan besar dari sistem vulkanik Siberian Traps tampaknya menyebabkan peningkatan drastis kadar karbon dioksida. Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2021 memperkirakan kadar CO2 di atmosfer saat itu mencapai 2.500 bagian per juta, jauh lebih tinggi daripada kadar saat ini yang sekitar 425 ppm. Hal ini menimbulkan pemanasan global dan pengasaman lautan yang mengakibatkan keruntuhan besar-besaran ekosistem laut.
Namun, kondisi di daratan selama peristiwa ini masih belum sepenuhnya dimengerti. Hanya beberapa lokasi di dunia yang memiliki lapisan batuan dengan fosil ekosistem daratan dari akhir Permian hingga awal Trias.
Sebuah studi terbaru yang meneliti salah satu lokasi tersebut di timur laut Tiongkok mengungkapkan bahwa ekosistem di tempat ini tetap relatif sehat meskipun terjadi Great Dying. Di tempat tersebut, hutan gymnospermae yang menghasilkan biji terus tumbuh, didukung oleh pakis yang berkembang biak melalui spora.
“Setidaknya di lokasi ini, kami tidak melihat adanya kepunahan massal pada tumbuhan,” kata Wan Yang, profesor geologi dan geofisika dari Missouri University of Science and Technology dan salah satu penulis studi ini, kepada Live Science.
Temuan ini, yang dipublikasikan di jurnal Science Advances, memperkuat gagasan bahwa dampak Great Dying mungkin lebih kompleks di daratan dibandingkan di lautan, menurut Yang.
Perubahan Bertahap?
Yang dan timnya menganalisis lapisan batuan di Xinjiang yang mencakup periode kepunahan massal ini. Salah satu fitur utama dari lokasi yang sekarang merupakan gurun adalah lapisan abu yang mengandung kristal kecil bernama zirkon. Zirkon ini memiliki elemen radioaktif yang memungkinkan peneliti untuk menentukan usia batuan dengan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan lokasi-lokasi lainnya.
Beberapa lapisan batuan tersebut juga mengandung fosil spora dan serbuk sari. Fosil-fosil ini menunjukkan bahwa tidak terjadi kepunahan besar-besaran dan repopulasi mendadak, melainkan perubahan spesies secara bertahap, kata Yang.
Temuan ini sejalan dengan bukti dari Afrika dan Argentina, di mana populasi tumbuhan tampaknya mengalami perubahan bertahap, bukan punah secara tiba-tiba dan kemudian kembali berkembang, kata Josefina Bodnar, ahli paleobotani dari National University of La Plata, Argentina, yang tidak berpartisipasi dalam penelitian ini.
“Tumbuhan darat memiliki banyak adaptasi yang memungkinkan mereka bertahan dari kepunahan ini,” jelas Bodnar. “Struktur bawah tanah seperti akar atau batang dapat bertahan selama ratusan tahun, dan biji juga bisa tetap hidup dalam jangka waktu lama.”
Kelangsungan hidup mungkin lebih mungkin terjadi di wilayah yang lembap dan berada di garis lintang tinggi. Situs di Xinjiang dulunya memiliki banyak danau dan sungai, beberapa ratus mil dari pantai. Tempat perlindungan tumbuhan lainnya, seperti yang ada di Argentina, juga terletak di garis lintang tinggi selama periode Permian, jauh dari ekuator dengan suhu yang paling panas.
Yang dan timnya menemukan bahwa selama akhir Permian dan awal Trias, iklim di Xinjiang menjadi sedikit lebih kering, tetapi tidak cukup untuk menyebabkan deforestasi. Hal ini mungkin disebabkan oleh lokasi, menurut Devin Hoffman, peneliti paleontologi dari University College London, yang tidak terlibat dalam studi ini. Hewan laut tidak memiliki tempat berlindung dari pengasaman lautan global, sementara perubahan iklim daratan tidak merata. Dampak terburuk mungkin terjadi di pusat Pangea, yang saat itu merupakan gurun luas.
“Di daratan, Anda masih bisa menghindari beberapa dampaknya,” kata Hoffman. “Segalanya pada dasarnya terdorong menuju kutub dan pesisir, tetapi ada kemungkinan untuk bertahan di daratan.”
Jejak Memori Planet
Penemuan ini memicu perdebatan tentang apakah kepunahan massal terbesar di Bumi benar-benar layak disebut demikian jika mempertimbangkan dampaknya di daratan.
“Saya lebih suka menyebutnya krisis di daratan, bukan kepunahan,” ucap Robert Gastaldo, profesor emeritus geologi dari Colby College, yang tidak terlibat dalam studi ini tetapi pernah bekerja sama dengan Yang.
Kepunahan massal akhir Permian menjadi perhatian ilmuwan karena terkait dengan gas rumah kaca—mirip dengan perubahan iklim yang kita alami saat ini. Saat itu, kondisi jauh lebih ekstrem: lapisan es kutub mencair sepenuhnya, yang jika terjadi sekarang bisa menyebabkan kenaikan permukaan laut hingga 70 meter.
Namun, manusia dapat menjadi ancaman yang hampir sama dengan letusan gunung berapi raksasa. Sebuah studi pada tahun 2020 menemukan bahwa kepunahan yang lebih kecil di akhir periode Trias disebabkan oleh lonjakan gas rumah kaca dari letusan gunung berapi, dalam skala serupa dengan emisi karbon yang diperkirakan akan dihasilkan manusia di akhir abad ini.
Mempelajari bencana kuno ini dapat memberikan wawasan tentang apa yang akan terjadi jika kadar karbon dioksida atmosfer mencapai tingkat yang belum pernah dialami manusia, kata Gastaldo.
“Planet ini pernah mengalaminya,” imbuhnya. “Memori planet ini tersimpan dalam catatan batuan. Kita bisa belajar dari batuan tersebut tentang apa yang akan terjadi pada Bumi di bawah kondisi ekstrem ini.” (Sumber: Live Science)
.