suarablitar.com — Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 pada 26 Juni 2025, yang melegitimasi pemisahan jadwal pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) nasional dan lokal. Putusan ini berpotensi mengubah konfigurasi politik nasional dan mengakhiri praktik pemilu serentak yang telah menimbulkan berbagai masalah, seperti pelemahan partai politik dan kualitas kedaulatan rakyat.
Dalam putusan tersebut, MK menilai adanya kegagalan sistematis dalam desain pemilu yang selama ini diterapkan. Kegagalan ini berdampak negatif pada kualitas pemimpin yang dihasilkan. Oleh karena itu, perubahan dalam pelaksanaan pemilu dianggap perlu demi memenuhi asas-asas penyelenggaraan yang konstitusional.
Allen Hicken dalam studinya menyebutkan tiga pendekatan perubahan desain pemilu: kegagalan sistematis, krisis katalis, dan preferensi petahana. Di Indonesia, pendekatan preferensi petahana berkemungkinan kuat untuk mendominasi, sehingga kondisi objektif sistem pemilu seringkali diabaikan.
MK dalam Putusan 135 menggunakan pendekatan non originalis, yang mempertimbangkan kemudahan bagi pemilih dan kompleksitas pencalonan partai politik. Dengan demikian, Pasal 22E ayat (2) UU UUD NRI 1945 tidak lagi dianggap sebagai norma keserentakan pemilu, melainkan sebagai norma yang mengatur jenis pemilu. Hal ini juga berakibat pada transisi pelaksanaan pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Putusan ini diharapkan dapat disikapi dengan baik oleh partai politik, sebagai kesempatan untuk menata ulang sistem pemilu yang lebih proporsional. Menurut Jimly Asshiddiqie, konstitusi yang fleksibel memungkinkan penyesuaian dengan tuntutan zaman, sehingga MK harus aktif dalam menginterpretasi konstitusi sesuai kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian, Putusan 135 diharapkan mampu memperbaiki sistem pemilu Indonesia ke depan.