Prof. Tjandra Yoga Aditama, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI yang juga mantan Direktur Penyakit Menular WHO untuk kawasan Asia Tenggara, berharap agar kasus rabies di Indonesia dapat teratasi dengan baik sehingga tidak ada korban jiwa. Harapan ini disampaikan Prof. Tjandra sebagai respons terhadap Surat Edaran Kementerian Kesehatan Nomor HK.02.02/C/508/2025 yang mengingatkan masyarakat untuk waspada terhadap rabies.
“Semoga rabies, yang dulu dikenal sebagai anjing gila, dapat dikelola dengan baik di negara kita, dan tidak ada anak bangsa yang menjadi korban,” ujarnya pada Sabtu, 22 Maret 2025.
Surat Edaran Kemenkes bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan memperkuat langkah-langkah pencegahan terhadap penyakit yang masih menjadi ancaman di Indonesia. Data dari laporan bulanan zoonosis tahun 2024 mencatat 185.359 kasus gigitan hewan yang terinfeksi rabies serta 122 kematian akibat rabies. Sementara itu, dari Januari hingga 7 Maret 2025, tercatat 13.453 kasus gigitan dan 25 kematian.
Menurut Prof. Tjandra, secara global, rabies merupakan masalah kesehatan di lebih dari 150 negara dengan ribuan kematian setiap tahunnya, setengahnya terjadi pada anak-anak di bawah 15 tahun.
Prof. Tjandra menjelaskan bahwa rabies disebabkan oleh virus yang ditularkan dari hewan, sehingga termasuk dalam kategori zoonosis. Untuk menangani rabies, pendekatan Satu Kesehatan (One Health) diperlukan.
“Penyakit ini juga tergolong dalam ‘neglected tropical disease’, yang merupakan penyakit menular di daerah tropis yang sering diabaikan,” tambahnya.
Ia menyebutkan bahwa 99 persen kasus rabies terjadi akibat gigitan atau cakaran anjing. Oleh karena itu, vaksinasi massal pada anjing sangat penting dilakukan, terutama di daerah yang membutuhkan.
Lebih lanjut, ia mengingatkan langkah-langkah segera yang perlu diambil jika seseorang terkena gigitan atau cakaran anjing, yaitu mencuci luka dengan baik dan segera mendapatkan vaksin rabies sebagai bentuk pencegahan pasca-paparan (post exposure prophylaxis/PEP), serta, jika diperlukan, diberikan rabies immunoglobulins.
“Tindakan cepat sangat diperlukan. Jika virus mencapai sistem saraf dan menyebabkan gejala serius, angka kematian bisa sangat tinggi, bahkan mendekati 100 persen,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa pencucian luka yang tepat dan pemberian vaksin serta imunoglobulin sangat penting untuk mencegah penyebaran virus ke dalam tubuh, sehingga gejala berat dan kematian dapat dihindari.
Prof. Tjandra juga menyatakan bahwa di seluruh dunia, lebih dari 29 juta orang mendapatkan vaksin rabies setiap tahun, dan akan baik jika data penerima vaksin rabies di Indonesia juga diungkap ke publik.
Ia menjelaskan bahwa masa inkubasi rabies umumnya berkisar antara 2 hingga 3 bulan, tetapi dapat bervariasi antara satu minggu hingga satu tahun, tergantung lokasi gigitan, jumlah virus, dan faktor lainnya.
“Ada dua tipe bentuk klinis rabies, yakni ‘Furious rabies’ yang terjadi pada sekitar 80 persen kasus, dan ‘Paralytic rabies’ yang lebih ringan, ditemukan pada sekitar 20 persen kasus,” kata Prof. Tjandra.
Lebih lanjut, Surat Edaran Kemenkes mengenai rabies menyebutkan pentingnya kewaspadaan di semua lapisan masyarakat dan fasilitas kesehatan, apalagi rabies masih menjadi ancaman serius di wilayah endemis. Masyarakat diimbau untuk segera mencuci luka gigitan dengan sabun dan air mengalir selama 15 menit, lalu mengunjungi fasilitas kesehatan untuk mendapatkan vaksin anti rabies secepatnya, seperti yang disampaikan Plt. Direktur Jenderal Penanggulangan Penyakit, drg. Murti Utami.
Kemenkes juga menekankan pentingnya surveilans dan koordinasi antar sektor untuk mengontrol populasi hewan penular rabies. Semua Dinas Kesehatan di Indonesia diminta untuk meningkatkan promosi kesehatan dan edukasi terkait rabies, memperkuat surveilans, serta memastikan kesiapan fasilitas kesehatan dalam menangani gigitan HPR. Selain itu, pemilik hewan peliharaan diharapkan untuk rutin memberikan vaksin rabies guna mencegah penyebaran penyakit ini.
.