suarablitar.com — Pembahasan RUU Perampasan Aset di DPR memasuki babak baru dengan masuknya RUU tersebut ke dalam Prolegnas 2025-2026. Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak agar wacana ini tidak hanya menjadi alat untuk meredam kritik masyarakat.
Wana Alamsyah, peneliti ICW, menyatakan bahwa RUU Perampasan Aset Tindak Pidana (PATP) seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai simbol tanpa menyelesaikan akar masalah. Dia menekankan pentingnya partisipasi publik dan aksesibilitas draft RUU agar proses pembahasan menjadi lebih transparan.
ICW juga meminta agar norma tentang kekayaan yang tidak terjelaskan (unexplained wealth) dimasukkan dalam RUU tersebut. Norma ini ditujukan untuk menjangkau pejabat publik dengan aset yang tidak sesuai dengan pendapatan yang dilaporkan di LHKPN. Data ICW menunjukkan bahwa dari 1.718 terdakwa korupsi pada 2023, hanya 17 orang yang dikenakan sanksi melalui UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Dari sisi pemerintah, Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah mendorong pembahasan RUU ini di DPR. Yusril juga mengonfirmasi adanya diskusi dengan Menkum Supratman Andi Agtas mengenai langkah selanjutnya.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, menyatakan bahwa revisi Prolegnas untuk memasukkan RUU Perampasan Aset sangat mungkin dilakukan. Ia menegaskan bahwa Baleg siap jika DPR mengambil inisiatif dalam pembahasan RUU tersebut, menunggu kesepakatan lebih lanjut antara DPR dan pemerintah.