suarablitar.com — Fenomena disinformasi dan misinformasi semakin mempengaruhi kedaulatan dan pola pikir masyarakat di era digital saat ini. Presiden Prabowo Subianto memperingatkan akan bahaya ulah kekuatan asing yang berupaya memecah belah bangsa melalui penyebaran informasi yang menghasut.
Data Kementerian Komunikasi dan Digital menunjukkan lebih dari 1.900 konten hoaks beredar di Indonesia selama 2024. Ini berpotensi mengikis kepercayaan pada institusi dan berdampak negatif pada kohesi sosial. Studi dari University of Baltimore dan CHEQ memperkirakan kerugian ekonomi global akibat disinformasi mencapai USD 78 miliar per tahun.
World Economic Forum menempatkan disinformasi sebagai salah satu risiko global tertinggi, dengan proyeksi meningkat hingga peringkat satu pada 2027. Proliferasi konten palsu dianggap memperumit lanskap geopolitik, memengaruhi pemilih, dan merusak citra produk suatu negara.
Guna mengatasi tantangan ini, pemerintah mengarahkan strategi komunikasi untuk membangun literasi digital dan daya tahan berpikir kritis masyarakat. Program-program seperti Makan Bergizi Gratis dan Digitalisasi Sekolah diharapkan bisa menciptakan generasi yang lebih bijak dalam menyaring informasi.
Pentingnya ketahanan kognitif menjadi sorotan, sebagai upaya menjaga arah berpikir bangsa. Masyarakat diharapkan dapat menyaring dan menanggapi informasi dengan bijak, agar tidak kehilangan arah dalam menghadapi tantangan zaman.