Musisi dalam Dilema, Kafe Tak Lagi Putar Lagu Lokal karena Royalti

Nasional2 Dilihat

suarablitar.com — Anggota Komisi XIII DPR, Mafirion, mendesak pemerintah untuk segera menengahi polemik royalti musik yang melibatkan pelaku usaha seperti restoran, pusat kebugaran, hotel, dan pusat perbelanjaan. Ia menekankan pentingnya peran pemerintah dalam memfasilitasi dialog antara musisi, pelaku usaha, dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Mafirion mengungkapkan, saat ini terdapat keresahan di dua sisi: pelaku usaha khawatir akan biaya tambahan dari kewajiban membayar royalti, sementara musisi takut membawakan lagu-lagu yang bukan ciptaannya di tempat usaha. “Kondisi ini tidak sehat bagi ekosistem industri kreatif,” ujarnya pada Rabu (6/8/2025). Ia memperingatkan agar polemik ini tidak berlarut-larut sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat.

Lebih lanjut, ia menegaskan perlunya perhatian terhadap pelaku usaha skala kecil dan menengah agar tidak tertekan oleh biaya royalti yang dapat menghambat pertumbuhan industri kreatif. Mafirion juga menyerukan pentingnya edukasi mengenai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta agar pelaku usaha lebih memahami kewajiban pembayaran royalti yang berlaku.

Di sisi lain, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menekankan bahwa royalti musik yang dikumpulkan oleh LMKN sepenuhnya akan disalurkan kepada pencipta, penyanyi, dan pemilik lagu, bukan untuk negara. “Seratus persen royalti yang terkumpul bukan untuk negara dan bukan pajak,” tegasnya, mengacu pada kebingungan pelaku usaha terkait kewajiban ini.

Isu royalti musik yang berlaku dalam konteks usaha komersial telah mendorong beberapa pengusaha untuk mencari alternatif, seperti mengganti lagu lokal dengan musik instrumental atau lagu berbahasa asing untuk menghindari potensi sanksi.