suarablitar.com — Koalisi Serikat Pekerja dan Partai Buruh (KSP-PB) menolak klaim Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai penurunan angka kemiskinan di Indonesia. KSP-PB menyatakan bahwa informasi yang dirilis BPS tidak mencerminkan realitas di lapangan dan lebih bersifat politis.
Dalam siaran pers yang dirilis pada 29 Juli 2025, KSP-PB mengkritik metodologi yang digunakan BPS dan menyebutnya bias. “BPS tidak menggunakan metodologi yang diterima secara internasional,” ungkap Said Iqbal, Presiden Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Ia menambahkan bahwa BPS tetap menggunakan pendekatan lama yang tidak sesuai dengan status Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah.
Angka kemiskinan yang diumumkan BPS menunjukkan penurunan menjadi 8,57% pada Maret 2025, dengan jumlah penduduk miskin mencapai 23,85 juta orang. Namun, KSP-PB menegaskan bahwa data tersebut tidak sejalan dengan kenyataan, terutama di tengah meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mencapai 70 ribu buruh dalam empat bulan pertama 2025.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menjelaskan bahwa BPS menggunakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 sebagai acuan, meskipun hal ini berarti mengadopsi metode pengukuran terbaru untuk penyesuaian nilai ekonomi. Perbedaan antara angka kemiskinan BPS dan Bank Dunia pun dijelaskan, di mana BPS menggunakan PPP 2017, sementara Bank Dunia menerapkan PPP 2021, yang menghasilkan garis kemiskinan yang lebih tinggi.
KSP-PB menggarisbawahi bahwa dengan kondisi yang ada, angka kemiskinan justru diperkirakan akan meningkat, bukan menurun.