suarablitar.com — Pemakzulan presiden dan wakil presiden di Indonesia merupakan mekanisme hukum yang diatur dalam Pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945. Pemimpin eksekutif dapat diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran serius, termasuk pengkhianatan, korupsi, atau tindak pidana berat lainnya.
Prosedur pemakzulan diawali dengan pengusulan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang kemudian ditindaklanjuti oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam konteks ini, pelanggaran hukum yang dimaksud mencakup: pengkhianatan terhadap negara, penyalahgunaan anggaran, penyuapan, dan perilaku tercela.
Ahli hukum Hamdan Zoelva menyatakan bahwa terdapat dua kategori pemakzulan: pertama, pelanggaran hukum yang serius; kedua, ketidakpuasan terhadap persyaratan jabatan yang diatur oleh konstitusi. Proses ini menuntut bukti yang kuat dan harus mengikuti tahapan formal yang ketat agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik tertentu.
Pemakzulan bukan langkah ringan, melainkan tindakan konstitusional yang harus diambil secara hati-hati. Tanpa memenuhi syarat hukum yang jelas, proses ini rentan terhadap penyimpangan politik.